Raden Wijaya yang diceritakan ke utara tersebut diberi tahu, bahwa
Batara Siwa Buda wafat, karena tentara Daha turun dari selatan, patih
tua juga telah gugur, semua mengikuti jejak batara.
Segera Raden Wijaya kembali, beserta hamba hambanya, berlari lari ke
Tumapel, melakukan pembalasan, tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar,
diburu oleh Kebo Mundarang, Raden Wijaya naik keatas, mengungsi di
Sawah Miring, maksud Kebo Mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden
Wijaya menyepak tanah bekas di tenggala, dada Kebo Mundarang sampai
mulanya penuh lumpur, ia mundur sambil berkata: “Aduh, memang sungguh
dewalah tuanku ini.”
Sekarang Raden Wijaya membagi bagi cawat kain ikat berwarna merah,
diberikan kepada hamba hambanya, masing masing orang mendapat sehelai,
ia bertekad untuk mengamuk.
Yang mendapat bagian, yalah: Sora, Rangga Lawe, Pedang, Dangdi dan Gajah Sora, segera menyerang, banyak orang Daha yang mati.
Kata Sora: “Sekarang ini, tuan, hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan saatnya.”
Raden Wijaya lekas lekas menyerang, semakin banyak orang Daha yang mati, mereka lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu.
Pada waktu sunyi orang telah tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden
Wijaya, sekarang orang orang Daha bubar, banyak yang tertusuk oleh
tombak temannya sendiri, repotlah orang prang Daha itu larinya.
Batara Siwa Buda mempunyai dua orang anak perempuan, mereka ini akan
dikawinkan dengan Raden Wijaya, demikianlah maksud Batara Siwa Buda itu,
kedua duanya ditawan oleh orang Daha, puteri yang muda berpisah dengan
puteri yang tua, tidak menjadi satu arah larinya, berhubung dengan
kerepotan orang Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu.
Pada waktu malam tampak api unggun orang Daha bernyala dan oleh Raden
Wijaya, yang segera dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas
lekaslah diambil oleh Raden Wijaya, lalu berkata: “Nah, Sora, marilah
mendesak mengamuk lagi, agar dapat bertemu dengan puteri muda.”
Sora berkata: “Janganlah tuan, bukankah adik tuan yang tua sudah tuan temukan, berapakah jumlah hamba tuanku sekarang ini.”
Jawab Raden Wijaya: “Justru karena itu.”
Maka Sora berkata lagi: “Lebih baik tuanku mundur saja, karena kalau
memaksa mengamuk, seandainya berhasil itu baik, kalau adik tuanku yang
muda dapat ditemukan, kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti
anai anai menyentuh pelita.”
Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan didukung, semalam malaman
mereka berjalan ke utara, keesokan harinya dikejar oleh orang Daha,
terkejar disebelah selatan Talaga Pager.
Orang orangnya ganti berganti tinggal dibelakang, untuk berperang, menghentikan orang Daha.
Gajah Pagon kena tombak tembus pahanya, tetapi masih dapat berjalan.
Kata Raden Wijaya: “Gajah Pagon, masih dapatkah kamu berjalan, kalau
tidak dapat, mari kita bersama sama mengamuk.” “masih dapatlah hamba,
tuanku, hanya saja hendaknya perlahan lahan.”
Orang orang Daha tidak begitu giat mengejarnya, kemudian mereka kembali di Talaga Pager.
Raden Wijaya masuk belukar, keluar belukar seperti ayam hutan, dan hamba
hambanya yang mengiring semua, ganti berganti mendukung puteri
bangsawan.
Akhirnya hamba hambanya bermusyawarah, membicarakan tentang keadaan Raden Wijaya.
Setelah putus pembicaraannya, semuanya bersama sama berkata: “Tuanku,
sembah hamba hamba tuanku semua ini, bagaimana akhir tuanku yang masuk
belukar dan keluar belukar seperti ayam hutan itu, pendapat hamba semua,
lebih baik tuanku pergi ke Madura Timur, hendaknyalah tuanku mengungsi
kepada Wiraraja, dengan pengharapan agar ia dapat dimintai bantuan,
mustahil ia tidak menaruh belas kasihan, bukankah ia dapat menjadi besar
itu karena ayah tuanku almarhum yang menjadi lantarannya.”
Kata Raden: “Itu baik, kalau ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya akan sangat malu.”
Jawab Sora, Rangga Lawe dan Nambi serentak dengan suara bersama: “Bagaimana dapat Wiraraja melengos terhadap tuanku.”
Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata kata hambanya. Mereka keluar
dari dalam hutan, datang di Pandakan, menuju ke orang tertua di
Pandakan, bernama Macankuping.
Raden Wijaya minta diberi kelapa muda, setelah diberi, diminum airnya,
ketika dibelah, ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang melihat itu.
Kata orang: “Ajaib benar, memang belum pernah ada kelapa muda berisi nasi.”
Gajah Pagon tak dapat berjalan lagi, kata Raden Wijaya: “Orang tua di
Pandakan, saya menitipkan satu orang, Gajah Pagon ini tidak dapat
berjalan, hendaknyalah ia tinggal di tempatmu.”
Kata orang Pandakan: ” Aduh, tuanku. itu akan tidak baik kalau sampai
terjadi Gajah Pagon didapati disini, mustahil akan ada hamba yang
menyetujui di Pandakan, kehendak hamba, biarlah ia berada di dalam
pondok di hutan saja, di ladang tempat orang menyabit ilalang, di tengah
tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah dangau, sunyi, tad ada
seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang akan memberi
makan tiap tiap hari.”
Gajah Pagon lalu ditinggalkan, Raden Wijaya selanjutnya menuju ke Datar,
pada waktu malam hari. Sesampainya di Datar, lalu naik perahu.
Tentara Daha lalu kembali pulang. Puteri yang muda masih terus ditawan, dibawa ke Daha, dipersembahkan kepada raja Jaya Katong.
Ia senang diberi tahu tentang Batara Siwa Buda wafat.
Raden Wijaya menyeberang ke Utara, turun di daerah perbatasan Sungeneb,
bermalam di tengah tengah sawah yang baru saja habis disikat,
pematangnya tipis.
Sora lalu berbaring meniarap, Raden Wijaya dan puteri bangsawan itu duduk diatasnya.
Pagi harinya melanjutkan perjalanannya ke Sungeneb, beristirahat di
dalam sebuah balai panjang. hamba hamba disuruh melihat lihat, kalau
kalau Wiraraja sedang duduk dihadap hamba hambanya.
Kembalilah mereka yang disuruh itu, memang Wiraraja sedang dihadap.
Berangkatlah raden Wijaya menuju tempat Wiraraja dihadap, terperanjatlah
Wiraraja melihat Raden itu, Wiraraja turun, lalu masuk kedalam rumah,
bubarlah yang menghadap.
Terhenti hati Raden Wijaya, berkata kepada Sora dan Ranggalawe: “nah,
apakah kataku, saya sangat malu, lebih baik aku mati pada waktu aku
mengamuk dahulu itu.”
Maka ia kembali ke balai panjang, kemudian Wiraraja datang menghadap,
berbondong bondong dengan seisi rumah, terutama isterinya, bersama sama
membawa sirih dan pinang.
Kata Ranggalawe: “Nah, tuanku, bukankah itu Wiraraja yang datang menghadap kemari.” Maka senanglah hati Raden Wijaya.
Isteri Adipati mempersembahkan sirih kepada Raden Wijaya.
Wiraraja itu meminta, agar Raden Wijaya masuk di perumahan Adipati. Sang
puteri bangsawan naik kereta, isteri Wiraraja semua berjalan kaki,
mengiring puteri bangsawan itu, dan Wiraraja mengiring Raden Wijaya.
Setelah datang di rumah tempat Wiraraja tidur. Raden Wijaya dihadap
didalam balai nomor dua sebelah luar, ia menceriterakan riwayat
bagaimana sang batara yang gugur ditengah tengah minum minuman keras itu
meninggal dunia, juga menceriterakan bagaimana ia mengamuk orang Daha.
Berkatalah Wiraraja: “Sekarang ini, apakah yang menjadi kehendak tuan.”
Raden Wijaya menjawab: “Saya minta persekutuanmu, jika sekiranya ada belas kasihanmu.”
Sembah Wiraraja: “Janganlah tuanku khawatir, hanya saja hendaknya tuan bertindak perlahan lahan.”
Selanjutnya Wiraraja mempersembahkan kain, sabuk dan kain bawah,
semuanya dibawa oleh isteri isterinya, terutama isteri pertamanya.
Kata Raden: “Bapa Wiraraja, sangat besar hutangku kepadamu, jika
tercapailah tujuanku, akan kubagi menjadi dua tanah Jawa nanti,
hendaknyalah kamu menikmati seperduanya, saya seperdua.”
Kata Wiraraja: “bagaimana saja, tuanku, asal tuanku dapat menjadi raja saja.”
Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Wiraraja.
Luar biasa pelayanan Wiraraja terhadap Raden Wijaya, tiap tiap hari
mempersembahkan makanan, tak usah dikatakan tentang ia mempersembahkan
minuman keras.
Lamalah Raden Wijaya bertempat tinggal di Sungeneb. Disitu Arya Wiraraja
berkata: “Tuanku hamba mengambil muslihat, hendaknya tuanku pergi
menghamba kepada raja Jaya Katong, hendaknyalah tuan seakan akan minta
maaf dengan kata kata yang mengandung arti tunduk, kalau sekiranya raja
Jaya Katong tak berkeberatan, tuan menghamba itu, hendaknyalah tuan
lekas lekas pindah bertempat tinggal di Daha, kalau rupanya sudah
dipercaya, hendaknyalah tuan memohon hutan orang Terik kepada raja Jaya
Katong, hendaknyalah tuan membuat desa disitu, hamba hamba Maduralah
yang akan menebang hutan untuk dijadikan desa, tempat hamba hamba Madura
yang menghadap tuanku dekat.
Adapun maksud tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat melihat lihat
orang orang raja Jaya Katong, siapa yang setia, yang berani, yang
penakut, yang pandai, terutama juga hendaknyalah tuan ketahui sifat
sifat Kebo Mundarang, sesudah itu semua dapat diukur, hendaknyalah
tuanku memohon diri pindah ke hutan orang Terik yang sudah dirubah
menjadi desa oleh hamba hamba Madura itu, masih ada perlunya lagi,
yalah: “Jika ada hamba hamba tuanku yang berasal dari Tumapel ingin
kembali menghamba lagi kepada tuan, hendaknyalah tuan terima, meskipun
hamba hamba dari Daha juga, jika mereka ingin mencari perlindungan
kepada tuan, hendaknyalah tuan lindungi, jika semua itu sudah, maka
tentara Daha tentu terkuasai oleh tuanku. Sekarang hamba akan berkirim
surat kepada raja Jaya Katong.”
Berangkatlah orang yang disuruh mengantarkan surat, menyeberang ke
selatan, menghadap raja Jaya Katong, mempersembahkan surat itu.
Adapun bunyi surat: “Tuanku, patik baginda memberi tahu, bahwa cucu
paduka baginda mohon ampun, ingin takluk kepada paduka baginda,
hendaknyalah paduka baginda maklum, terserah apakah itu diperkenankan
atau tidak diperkenankan oleh paduka tuan.”
Kata Raja Jaya Katong: “Mengapa kami tidak senang, kalau buyung Arsa Wijaya akan menghamba kepada kami.”
Selanjutnya disuruh kembalilah utusan itu untuk menyampaikan kata katanya.
Setelah utusan datang lalu menyampaikan perintah.
Surat telah dibaca dimuka Raden Wijaya dan dimuka dimuka Wiraraja.
Wiraraja senang.
Segera Raden Wijaya kembali ke Pulau Jawa, diiring oleh hamba hambanya,
dihantarkan oleh orang orang Madura, dan Wiraraja juga menghantarkan
kembali di Terung.
Setelah datang di Daha, ia dengan tenteram dapat menghadap raja Jaya Katong, sangat dicintai.
Ketika ia datang di Daha, kebetulan tepat pada hari raya Galungan, hamba
hambanya disuruh oleh raja untuk mengambil bagian didalam pertandingan,
menteri menteri Daha sangat heran, karena orang orang itu baik semua,
terutama Sora, Rangga Lawe, Nambi, Pedang dan Dangdi, mereka bersama
sama lari ketempat pertandingan di Manguntur negara Daha.
Bergantilah menteri menteri Daha lari, diantaranya yang merupakan
perjurit utama, yalah: Panglet, Mahisa Rubuh dan Patih Kebo Mundarang,
mereka ketiga tiganya kalah cepat larinya dengan Rangga Lawe dan Sora.
Lama kelamaan Raja Jaya Katong mengadakan pertandingan tusuk menusuk,
“Puteraku Arsa Wijaya, hendaknyalah kamu ikut bermain tusuk menusuk,
kami ingin melihat, menteri menteri kamilah yang akan menjadi lawanmu.”
Jawab Raden Wijaya: “Baiklah tuanku.”
Bertandinglah mereka tusuk menusuk itu, riuh rendah suara bunyi bunyian,
orang yang melihat penuh tak ada selatnya, orang orang raja Jaya Katong
sering kali terpaksa lari.
Kata raja Jaya Katong: “Pintalah buyung Arsa Wijaya, jangan ikut serta, siapakah yang berani melawan tuannya.”
Raden Wijaya berhenti, kini sepadanlah pertandingan tusuk menusuk itu,
kejar mengejar, kemudian Sora menuju ke arah Kebo Mundarang, Rangga Lawe
menuju Panglet dan Nambi menuju ke Mahisa Rubuh, akhirnya terpaksa lari
menteri menteri Daha itu menghadapi orang orang Raden Wijaya, tak ada
yang mengadakan pembalasan, lalu bubar.
Sekarang Raden Wijaya telah melihat, bahwa menteri menteri Daha dikalahkan oleh orang orangnya.
Lalu ia berkirim surat kepada Wiraraja, selanjutnya Wiraraja menyampaikan pesan, agar Raden Wijaya memohon hutan orang Terik.
Raja Jaya Katong memperkenankan. Inilah asal usul orang mendirikan desa di hutan orang Terik.
Ketika desa sedang dibuat oleh orang orang Madura, ada orang yang lapar
karena kurang bekalnya pada waktu ia menebang hutan, ia makan buah maja,
merasa pahit, semua dibuanglah buah maja yang diambilnya itu, terkenal
ada buah maja pahit rasanya, tempat itu lalu diberi nama Majapahit.
Raden Wijaya telah dapat memperhitungkan keadaan Daha. Majapahit telah
berupa desa. Orang orang Wiraraja yang mengadakan hubungan dengan Daha,
beristirahat di Majapahit.
Wiraraja berkirim pesan kepada Raden Wijaya, bagaimana caranya memohon diri kepada raja Jaya Katong.
Sekarang Raden Wijaya meminta ijin pindah ke Majapahit.
Raja Jaya Katong memperkenankannya, lengah karena rasa sayang dan karena
kepandaian Raden Wijaya menghamba itu, seperti sungguh sungguh.
Setelah Raden Wijaya pindah ke Majapahit, lalu memberi tahu kepada
Wiraraja, bahwa menteri menteri Daha telah dapat dikuasai olehnya dan
oleh hamba hambanya semua.
Raden Wijaya mengajak Wiraraja menyerang Daha, Wiraraja menahan, berkata
kepada utusannya: “Jangan tergesa gesa, masih ada muslihat saya lagi,
hendaknyalah kamu wahai utusan, bersembah kepada tuanmu, saya ini
berteman dengan raja Tatar, itu akan kutawari puteri bangsawan,
hendaknyalah kamu utusan, pulang ke Majapahit sekarang.
Sepergimu saya akan berkirim surat ke Tatar. Ada perahuku, itu akan saya
suruh ikut serta ke Tatar, agar supaya menyampaikan ajakan menyerang
Daha.
Jika raja Daha telah kalah, maka seluruh pulau Jawa tak ada yang
menyamai, itu nanti dapat dimiliki oleh raja Tatar, demikian itu
penipuanku terhadap raja Tatar. Hendaknyalah kamu memberi tahu kepada
Sang Pangeran, bahwasanya ini agar supaya raja itu mau ikut serta
mengalahkan Daha.”
Utusan pulang kembali ke Majapahit, Raden Wijaya senang diberi tahu semua pesan Wiraraja itu.
Sesudah utusan kembali, Wiraraja lalu berkirim utusan ke Tatar. Wiraraja
pindah ke Majapahit, seisi rumah dan membawa tentara dari Madura, yalah
semua orang Madura yang baik dibawa beserta senjatanya.
Setelah utusan datang dari Tatar, lalu menyerang Daha.
Tentara Tatar keluar dari sebelah utara, tentara Madura dan Majapahit
keluar dari timur, Raja Katong bingung, tak tahu mana yang harus dijaga.
Kemudian diserang dengan hebat dari utara oleh tentara Tatar.
Kebo Mundarang, Panglet dan Mahisa Rubuh menjaga tentara dari timur.
Panglet mati oleh Sora, Kebo rubuh mati oleh Nambi, Kebo Mundarang
bertemu dengan Rangga Lawe, terpaksa larilah Kebo Mundarang, dapat
dikejar di lembah Trinipati, akhirnya mati oleh Rangga Lawe, Kebo
Mundarang berpesan kepada Rangga Lawe: “Wahai Rangga Lawe, saya
mempunyai seorang anak perempuan, hendaknyalah itu diambil oleh Ki Sora
sebagai anugerah atas keberaniannya.”
Raja Jaya Katong yang bertempur ke Utara, bersenjatakan perisai,
diserang bersama sama oleh orang orang Tatar, akhirnya tertangkap dan
dipenjara oleh orang Tatar.
Raden Wijaya lekas lekas masuk kedalam istana Daha, untuk melarikan
puteri bangsawan yang muda, lalu dibawa ke Majapahit, sedatangnya di
Majapahit orang orang Tatar datang untuk meminta puteri puteri
bangsawan, karena Wiraraja telah menyanggupkan itu, jika Daha telah
kalah, akan memberikan dua orang puteri bangsawan yang berasal dari
Tumapel, kedua duanya semua.
Maka bingunglah para menteri semua, mencari cari kesanggupan lain,
Sora berkata: “Nah, saya saja yang akan mengamuk bilamana orang orang Tatar datang kemari.”
Arya Wiraraja menjawab: “Sesungguhnya, wahai buyung Sora, masih ada muslihatku lagi.”
Maka dicari dicarilah kesanggupan kesanggupan. Itulah yang dimusyawarahkan oleh menteri menteri.
Sora menyatakan kesanggupannya: ” Tak seberapa kalau saya mengamuk orang orang Tatar.”
Pada waktu sore hari, waktu matahari sudah condong ke barat, orang orang Tatar datang meminta puteri puteri bangsawan.
Wiraraja menjawab: “Wahai, orang orang Tatar semua, janganlah kamu
kalian tergesa gesa, puteri puteri raja itu sedang sedih, karena telah
cemas melihat tentara tentara pada waktu Tumapel kalah, lebih lebih
ketika Daha kalah, sangat takut melihat segala yang serba tajam. Besok
pagi saja mereka akan diserahkan kepada kamu, ditempatkan kedalam kotak,
diusung, dihias dengan kain kain, dihantarkan ke perahumu, sebabnya
mereka ditempatkan didalam peti itu, karena mereka segan melihat barang
barang yang tajam, dan yang menerimanya puteri puteri bangsawan itu,
hendaknyalah jangan orang Tatar yang jelek, tetapi orang orang yang
bagus jangan membawa teman, karena janji puteri puteri bangsawan itu,
kalau sampai terjadi melihat yang serba tajam, meskipun sudah tiba
diatas perahu, mereka akan terjun kedalam air, bukankah akan sia sia
saja, bahwasanya kalian telah mempertaruhkan jiwa itu, jika puteri
puteri bangsawan ini sampai terjadi terjun kedalam air.”
Percayalah orang orang Tatar, ditipu itu. Kata seorang Tatar: “Sangat betul perkataan tuan.”
Sesudah datang saat perjanjian menyerahkan puteri puteri bangsawan itu,
orang orang Tatar datang berbondong bondong meminta puteri puteri
bangsawan, semua tak ada yang membawa senjata tajam.
Setelah mereka masuk kedalam pintu Bayangkara, orang orang Tatar itu
ditutupi pintu, dikunci dari luar dan dari dalam, Sora telah menyisipkan
keris pada pahanya.
Sekonyong konyong orang orang Tatar diamuk oleh Sora, habis, mati semua.
Ranggalawe mengamuk kepada mereka yang berada di luar balai tempat orang
menghadap, dikejar sampai ketempat kemana saja mereka lari, kemuara
Canggu, diikuti dan dibunuh.
Kira kira sepuluh hari kemudian, mereka yang pergi berperang, datang
dari Malayu, mendapat dua orang puteri, yang seorang dikawin oleh Raden
Wijaya, yalah yang bernama Raden Dara Pethak, adapun yang tua bernama
Dara Jingga, kawin dengan seorang Dewa, melahirkan seorang anak laki
laki menjadi raja di Malayu, bernama Tuhan Janaka, nama nobatannya: Sri
Warmadewa alias Raja Mantrolot.
Peristiwa Malayu dan Tumapel itu bersamaan waktunya pada tahun Saka: Pendeta Sembilan Bersamadi atau 1197.
Raja Katong naik diatas tahta kerajaan di Daha pada tahun Saka: Ular Muka Dara Tunggal atau 1198.
Setelah Raka Katong datang di Junggaluh ia mengarang kidung: Wukir Polaman, selesai mengarang kidung ia wafat.
sumber: https://belajarjawa.wordpress.com/literatur/kitab-pararaton/pararaton-bab-5/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar